SOSIOLOGI GENDER 2
SOSIOLOGI
GENDER
Dosen : Dr. H. Agus Sikwan,
SH., M.Hum
MANIFESTASI GENDER PADA POSISI KAUM PEREMPUAN
Pada
umumnya telah disadari bahwa perbedaan gender (gender differences) telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities).
Setelah ditelaah secara
mendalam, perbedaan gender ini ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan
stereotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan
ketentuan Tuhan.
Sifat
dan dan stereotipe yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial
dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural, dalam proses yang panjang dan
akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan :
1. Perbedaan dan pembagian gender
mengakibatkan, termanisfestasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan di
hadapan laki-laki.
Subordinasi di sini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal
proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun 50 % lebih
dari penduduk Indonesia adalah kaum perempuan, namun posisi kaum perempuan
ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki.
Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi
pemerintahan, masyarakat maupun dimasing-masing rumah tangga, tetapi juga
secara global.
Banyak sekali contoh kasus, baik tradisi maupun aturan birokrasi dimana
kaum perempuan diletakan dalam posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki.
Misalnya, persyaratan perempuan yang hendak tugas belajar ke luar negeri, ia
harus mendapat izin dari suami, sebaliknya suami tidak perlu persyaratan izin
dari istri.
2. Secara ekonomis, perbedaan dan
pembagian gender melahirkan proses marginalisasi perempuan.
Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam budaya, birokrasi maupun
program-program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal
dengan Revolusi Hijau, kaum perempuan
secara sistimatis disingkirkan dan dimiskinkan. Penggantian bibit
pertanian jenis unggul terpaksa mengganti ani-ani dengan sabit, artinya
menggusur banyak sekali pekerjaan kaum perempuan di komunitas agraris terutama
di pedesaan.
Dengan hanya mengakui laki-laki sebagai Kepala Rumahtangga, program
industrialisasi pertanian secara sistimatis menghalangi, tidak memberi ruang
bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam bidang pertanian ataupun
akses kredit.
Perlakuan semacam itu secara tidak terasa menggusur keberadaan kaum
perempuan kegaris marginal (terpinggirkan). Di sektor lain juga terjadi banyak
sekali jenis aktivitas kaum perempuan yang selalu dianggap tidak produktif
(dianggap bernilai rendah), sehingga mendapat imbalan ekonomis lebih rendah
dari kaum laki-laki.
3. Perbedaan dan pembagian gender juga
membentuk penandaan atau stereotipe terhadap kaum perempuan yang berakibat pada
penindasan terhadap mereka.
Stereotipe merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan budaya, yakni
pemberian label yg memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi
dan kondisi kaum perempuan.
Misalnya stereotipe kaum perempuan sebagai “ibu rumahtangga” sangat
merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang
dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis
maupun di pemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan
kodrat perempuan. Sementara stereotipe laki-laki sebagai “Pencari nafkah”
mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai
‘sambilan atau tambahan” dan cenderung tidak dihitung, tidak dianggap atau
tidak dihargai.
4. Perbedaan dan pembagian gender
membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat jauh lebih
panjang.
Pada umumnya, jika dicermati disuatu rumah tangga ada beberapa jenis
pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki
dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak
observasi yang dilakukan, menunjukan bahwa hampir 90 % pekerjaan domestik
dikerjakan oleh perempuan, terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja (umpamanya
buruh industri atau profesi lainnya), artinya mereka memiliki peran ganda
(beban kerja ganda di rumah dan di luar rumah).
5. Perbedaan gender dan pembagian gender
juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence)
terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun secara mental.
Keberagaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena
perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk. Yaitu yang bersifat fisik
seperti pemerkosaan, pencabulan, pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih
sadis lagi pemotongan alat genital perempuan, dan lain sebagainya.
Kekerasan dalam bentuk non fisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan
seksual, menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara emosional.
6. Perbedaan gender dan pembagian gender
dengan segenap manifestasinya sebagaimana tersebut di atas, mengakibatkan
tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang ada.
Dengan kata lain saegenap manifestasi ketidakadilan gender itu sendiri
juga merupakan proses penjinakan peran gender perempuan, sehingga kaum
perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti
sekarang ini sebagai sesuatu yang normal dan kodrati. Jadi, keseluruhan
manifestasi tersebut ternyata saling berkait dan saling bergantung serta saling
menguatkan satu sama yang lain.
Pelanggengan posisi
subordinasi, stereotipe dan kekerasan terhadap kaum perempuan ini secara tidak
sadar juga dijalankan oleh ideologi dan budaya patriarki, yakni ideology kelaki-lakian. Ideologi ini ada di kepala
kaum laki-laki maupun perempuan, juga dalam tafsir agama yang sangat
mempengaruhi kebijakan negara dan birokrasi pembangunan.
Ada
beberapa cara / upaya untuk mengakhiri ketidakadilan gender:
1). Melawan hegemoni yang
merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi.
Melakukan dekonstruksi
artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan
dimana saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja.
Pertanyaan tersebut dapat
dimulai darin kasus yang sifatnya makro, seperti Women in Development (WID),
sampai kasus2 yang dianggap kecil yakni pembagian peran gender di rumah tangga.
Bisa juga melakukan
pendidikan yang sifatnya pendidikan kritis atau kegiatan apa saja yang akan
membantu perempuan memahami pengalamnnya dan menolak ideology dan norma yang
dipaksakan kepada mereka.
2). Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa
keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi
dalam pembangunan.
Karena perempuan perempuan
dianggap tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka program perlu didesain
oleh perencana ahli yang kemudian dikirimkan kepada mereka.
Perempuan dianggap sebagai
objek pembangunan, yakni diidentifikasi, diukur dan diprogramkan.
Komentar
Posting Komentar