SOSIOLOGI GENDER
SOSIOLOGI GENDER
Dosen: Dr. H. Agus Sikwan, SH. M. Hum
APAKAH GENDER ITU ?
Sejak 10 (sepuluh) tahun terakhir kata gender telah memasuki perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan pembangunan di Dunia Ketiga
. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan dikalangan organisasi non pemerintah selalu diperbincangkan masalah gender. Lantas timbul pertanyaan: Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu ?
. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan dikalangan organisasi non pemerintah selalu diperbincangkan masalah gender. Lantas timbul pertanyaan: Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu ?
Konsep penting yg perlu dipahami dalam rangka membahas maslah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin).
Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada masing2 jenis kelamin tertentu.
Misalnya laki-laki memiliki penis dan menghasilkan sperma sedangkan perempuan memiliki alat-alat reproduksi. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu dan tidak bisa dipertukarkan.
Sedangkan gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya.
Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, perkasa. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan antara jenis kelamin yang satu dengan yang lain.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara social budaya, melalui ajaran keagamaan maupun Negara.
Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan bersifat agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju kesifat gender yg ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya.
Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.
PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah spnjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi masalah, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :
1. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi;
2. Subordinasi;
3. Stereotipe atau pelabelan yang bersifat negatif;
4. Kekerasan;
5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak.
Ad.1. Marginalisasi
Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya program swasembada pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka.
Ad.2. Subordinasi
Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.
Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Ad.3. Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender.
Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan selsual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada perkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan si perempuan.
Ad. 4. Kekerasan Gender
Kekerasan (Violence) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.
Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh bias gender.
Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Ada berbagai bentuk kekerasan gender, diantaranya:
1). Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan.
Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.
2). Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumahtangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak.
3). Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan ini namun salah satu alasan terkuat adalah adanya anggapan bias gender dimasyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan.
4). Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution)
perempuan yang menjadi dan dijadikan pelacur merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Disatu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi dilain pihak negara juga menari pajak dari mereka.
5). Kekerasan dalam bentuk pornografi
Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan yang bersifat non fisik, yakni pelecehan terhadap terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.
6). Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam KB
Keluarga Berencana (KB) dibanyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan.
Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari laki-laki juga. Namun, lantaran bias gender, perempuan dipaksa sterilisasi yang seringkali membahayakan baik fisik ataupun jiwa mereka.
7). Kekerasan yang terselubung
Yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan dari sipemilik tubuh.
Jenis kekerasan yang terselubung ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum, seperti dalam Bis, KA, dan lain-lain.
8). Pelecehan seksual (Sexual harassment)
Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif sifatnya karena sering terjadi, dan tindakan itu merupakan usaha untuk bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan.
Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual, yakni antara lain :
1). Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang perempuan dengan cara yang dirasakan sangat ofensif;
2). Menyakiti atau membuat malu seseorang perempuan dengan omongan kotor;
3). Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya;
4). Meminta imbalan seksual dalam rangka dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau janji-janji lainnya;
5). Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.
Ad. 5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumahtangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumahtangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak.
Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja tersebut terjadi diberbagai tingkatan, yakni :
Pertama, Manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi di tingkat negara, yakni banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan serta program pembangunan yang masih mencerminkan sebagian dari manifestasi ketidakadilan gender.
Contoh: UUP, KUHP khusus yang mengatur trafficking
Kedua, Manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi di tempat kerja, organisasi, maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut.
Ketiga, Manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi dalam adat-istiadat masyarakat dibanyak kelompok etnik, khususnya dalam pernikahan, upacara keagamaan, upacara kematian, dll.
Keempat, Manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi di lingkungan rumah tangga.
Hal ini terjadi dalam proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antaranggota keluarga dalam banyak rumahtangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender.
MANIFESTASI GENDER PADA POSISI KAUM PEREMPUAN
Pada umumnya telah disadari bahwa perbedaan gender (gender differences) telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Setelah ditelaah secara mendalam, perbedaan gender ini ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan.
Sifat dan dan stereotipe yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural, dalam proses yang panjang dan akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan :
1. Perbedaan dan pembagian gender mengakibatkan, termanisfestasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki.
Subordinasi di sini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun 50 % lebih dari penduduk Indonesia adalah kaum perempuan, namun posisi kaum perempuan ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki.
Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat maupun dimasing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global.
Banyak sekali contoh kasus, baik tradisi maupun aturan birokrasi dimana kaum perempuan diletakan dalam posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Misalnya, persyaratan perempuan yang hendak tugas belajar ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami, sebaliknya suami tidak perlu persyaratan izin dari istri.
2. Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender melahirkan proses marginalisasi perempuan.
Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam budaya, birokrasi maupun program-program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau, kaum perempuan secara sistimatis disingkirkan dan dimiskinkan. Penggantian bibit pertanian jenis unggul terpaksa mengganti ani-ani dengan sabit, artinya menggusur banyak sekali pekerjaan kaum perempuan di komunitas agraris terutama di pedesaan.
Dengan hanya mengakui laki-laki sebagai Kepala Rumahtangga, program industrialisasi pertanian secara sistimatis menghalangi, tidak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam bidang pertanian ataupun akses kredit.
Perlakuan semacam itu secara tidak terasa menggusur keberadaan kaum perempuan kegaris marginal (terpinggirkan). Di sektor lain juga terjadi banyak sekali jenis aktivitas kaum perempuan yang selalu dianggap tidak produktif (dianggap bernilai rendah), sehingga mendapat imbalan ekonomis lebih rendah dari kaum laki-laki.
3. Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotipe terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka.
Stereotipe merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan budaya, yakni pemberian label yg memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan.
Misalnya stereotipe kaum perempuan sebagai “ibu rumahtangga” sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis maupun di pemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Sementara stereotipe laki-laki sebagai “Pencari nafkah” mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai ‘sambilan atau tambahan” dan cenderung tidak dihitung, tidak dianggap atau tidak dihargai.
4. Perbedaan dan pembagian gender membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat jauh lebih panjang.
Pada umumnya, jika dicermati disuatu rumah tangga ada beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak observasi yang dilakukan, menunjukan bahwa hampir 90 % pekerjaan domestik dikerjakan oleh perempuan, terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja (umpamanya buruh industri atau profesi lainnya), artinya mereka memiliki peran ganda (beban kerja ganda di rumah dan di luar rumah).
5. Perbedaan gender dan pembagian gender juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun secara mental.
Keberagaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk. Yaitu yang bersifat fisik seperti pemerkosaan, pencabulan, pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih sadis lagi pemotongan alat genital perempuan, dan lain sebagainya.
Kekerasan dalam bentuk non fisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan seksual, menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara emosional.
6. Perbedaan gender dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya sebagaimana tersebut di atas, mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang ada.
Dengan kata lain saegenap manifestasi ketidakadilan gender itu sendiri juga merupakan proses penjinakan peran gender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti sekarang ini sebagai sesuatu yang normal dan kodrati. Jadi, keseluruhan manifestasi tersebut ternyata saling berkait dan saling bergantung serta saling menguatkan satu sama yang lain.
Pelanggengan posisi subordinasi, stereotipe dan kekerasan terhadap kaum perempuan ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan budaya patriarki, yakni ideology kelaki-lakian. Ideologi ini ada di kepala kaum laki-laki maupun perempuan, juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara dan birokrasi pembangunan.
Ada beberapa cara / upaya untuk mengakhiri ketidakadilan gender:
1). Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi.
Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan dimana saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja.
Pertanyaan tersebut dapat dimulai darin kasus yang sifatnya makro, seperti Women in Development (WID), sampai kasus2 yang dianggap kecil yakni pembagian peran gender di rumah tangga.
Bisa juga melakukan pendidikan yang sifatnya pendidikan kritis atau kegiatan apa saja yang akan membantu perempuan memahami pengalamnnya dan menolak ideology dan norma yang dipaksakan kepada mereka.
2). Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Karena perempuan perempuan dianggap tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka program perlu didesain oleh perencana ahli yang kemudian dikirimkan kepada mereka.
Perempuan dianggap sebagai objek pembangunan, yakni diidentifikasi, diukur dan diprogramkan.
KESETARAAN GENDER
Kesetaraan gender adalah seperti sebuah istilah “suci”yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat Negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh para wanita. Maka istilah kesetaraan gender sering tyerkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, seperti : subordinasi, penindasan, kekerasan, dan semacamnya.
Persoalan perempuan berkaitan dengan masalah kesetaraan gender ini memang dapat mengundang rasa simpati yang cukup besar dari masyarakat luas. Hal ini terjadi karena permasalahan kesetraan gender sering dianggap erat kaitannya dengan persoalan keadilan social dalam arti yang lebih luas., yaitu isu-isu yang berkisar pada masalah kesenjangan antara orang kaya dan miskin.
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan mengundang kontroversial. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaran yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian ada pula yang mengartikannya dengan nkonsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang juga masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing.
Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hokum, ekonomi, social budaya, pendidikan, dan hankamnas, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga dengan demikian antara perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Memiliki akses, berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan atas penggunaan sumber dan hasil sumber daya tersebut.
Memiliki kontrol, berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya.
Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum laki-laki dan perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki.
Secara umum para feminis menginginkan kesetaraan gender yang sama rata antara laki-laki dan perempuan dari segala aspek kehidupan, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme merupakan gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki dalam upaya melawan pranata social yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodratnya.
Dengan kesalahfahaman seperti itu, maka feminisme tidak saja kurang mendapat tempat di kalangan kaum perempuan, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.
Feminisme bukanlah hanya perjuangan emansipasi dari kaum perempuan terhadap kaum laki-laki saja, karena mereka juga menyadari bahwa laki-laki khususnya kaum proletar mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi, dan represi dari system yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil bagi perempuan maupun laki-laki.
Dalam diskursus femisnisme ada dua kelompok besar berkaitan dengan konsep kesetaraan gender. Kedua kelompok tersebut dalam mengetengahkan konsep kesetaraan gendersatu sama lain bertolak belakang/bertentangan.
Kelompok feminis pertama, mengatakan bahwa konsep gender merupakan suatu konstruksi social sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran social. Oleh karena itu, segala jenis pekerjaan yang berkaitan dengan gender, seperti perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan domestik dan laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan sosial. Apabila masih terjadi pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan maka akan sulit menghilangkan kondisi ketidaksetaraan.
Kelompok feminis yang kedua, menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial, sehingga jenis-jenis pekerjaan stereotip gender akan selalu ada.
Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis, namun mereka sepaham bahwa hakekat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Persoalannya adalah bahwa feminisme bukanlah suatu gerakan homogen yang secara mudah dapat dididentifikasikan ciri-cirinya. Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia.
2. Menolak setiap perbedaan antarmanusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin.
3. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.
4. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.
Kendala utama bagi perempuan untuk dapat berkiprah secara setara dengan laki-laki diakui oleh para feminis sebenarnya hanya karena perempuan saja yang dapat hamil. Kesetaraan gender hanya dapat berlaku pada perempuan muda yang belum menikah (inipun hanya sementara saja), atau perempuan yang tidak mempunyai anak, atau perempuan yang benar-benar menarik diri dari kehidupan keluarga dan mengabdikan 100 % hidupnya untuk pengembangan karier. Namun, perempuan yang masuk dalam kategori ini dapat dihitung atau hanya beberapa persen saja.
Persoalan kesetaraan gender yang paling mendasar adalah bahwa belum semua perempuan memiliki atribut-atribut social yang mendukung pemberdayaannya dalam dalam meraih kesetaraan berperan. Dengan demikian, tanpa upaya melihat kesetaraan gender dari sudut pandang perempuan, tampaknya subordinasi tersembunyi bagi perempuan akan tetap berlangsung. Upaya-upaya yang paling tepat dilakukan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender ini, yaitu dengan cara :
1. Pembakuan istilah gender dengan acuan pada keberadaan segala sesuatu yang ada dimasyarakat secara tradisi, dengan mempertimbangkan berbagai muatan social budaya, ekonomi, dan politik dalam konteks akses terhadap berbagai muatan pembangunan.
2. Pendekatan analisis gender tidak lagi sekedar merujuk pada pembedaan biologis atau jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) atau sifat perseorangan (maskulin – feminin) akan tetapi mengacu pada perspektif gender menurut dimensi sosial budaya.
3. Perencanaan pembangunan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan peran gender dan ketergantungan antara laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu hal yang dapat diubah dan akan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
Jika cara ini dilakukan, maka dapat diharapkan proses pemudaran stereotip pembagian peran sex (biologis) dapat berlangsung.
Dengan demikian, sosialisasi kesetaraan gender tidak lepas dengan sendirinya dari kepedulian kaum perempuan maupun laki-laki. Namun hal ini bukan berarti dalam konteks ketergantungan atau pendominasian. Kesetaraan gender ini menuntut keberanian para perempuan dan kerelaan kaum laki-laki dlm melaksanakan justifikasi terhadap mitos2 yg merugikan refleksi optimal dari aplikasi peran menurut gender.
Kesenjangan gender diberbagai bidang pembangunan ditandai oleh masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya ekonomi, seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan modal kerja. Meskipun penghasilan perempuan pekerja memberikan kontribusi yang cukup signifikan thdp penghasilan dan kesejahteraan keluarganya, perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan dan pekerja keluarga. Kesemuanya ini berdampak pada masih rendahnya partisipasi, akses, dan kontrol yang dimiliki, serta manfaat yg dinikmati perempuan dalam pembangunan, yang antara lain ditandai oleh rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan (43,5 %) dibandingkan dengan TPAK laki-laki (72,6 %). Meskipun pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan dihadapan hukum, namun masih banyak dijumpai materi hokum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan gender. Materi hukum dimaksud antara lain: UU Ketenagakerjaan, UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Pendidikan, dan UU Pajak.
Selain itu, struktur hukum dan budaya hukum yg tdpt dalam masyarakat juga masih kurang mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Keadaan ini antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran gender di kalangan penegak hukum, sedikitnya jumlah penegak hukum yang menangani kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan, dan lemahnya mekanisme pemantauan dan evaluasi, terutama yg dilakukan oleh masyarakat, terhadap pelaksanaan penegakan hukum.
Belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ini diperburuk oleh masih terbatasnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan public yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga legislative, eksekutif, yudikatif, TNI dan POLRI. Hal ini antara lain ditandai oleh sedikitnya wakil perempuan dalam lembaga legislatif, sedikitnya pejabat struktural eselon I, II dan III dalam lembaga eksekutif.
Untuk memperkecil kesenjangan tsb maka seluruh kebijakan, program, proyek, dan kegiatan pembangunan yang dikembangkan saat ini dan mendatang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG)
(INPRES NOMOR 9 TAHUN 2000)
ISTILAH PENGARUSUTAMAAN GENDER (GENDER MAINSTREAMING) TERCANTUM PADA KONFERENSI WANITA SEDUNIA KEEMPAT YANG DISELENGGARAKAN DI BEIJING PADA TAHUN `1995. SEMUA NEGARA2 TERMASUK INDONESIA DAN ORGANISASI YANG HADIR PADA KONFERENSI ITU, SECARA EKSPLISIT MENERIMA MANDAT UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN PUG DI NEGARA DAN TEMPAT MASING2.
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) ADALAH STRATEGI YANG DILAKUKAN SECARA RASIONAL DAN SISTIMATIS UNTUK MENCAPAI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM SEJUMLAH ASPEK KEHIDUPAN MANUSIA MELALUI KEBIJAKAN DAN PROGRAM YANG MEMPERHATIKAN PENGALAMAN, ASPIRASI, KEBUTUHAN DAN PERMASALAHAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI KE DALAM PERENCANAAN, PELAKSANAAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI DARI SELURUH KEBIJAKAN DAN PROGRAM DIBERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN DAN PEMBANGUNAN.
TUJUAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) ADALAH MEMASTIKAN APAKAH PEREMPUAN DAN LAKI2 MEMPEROLEH AKSES TERHADAP, BERPARTISIPASI DALAM, MEMPUNYAI KONTROL ATAS, DAN MEMPEROLEH MANFAAT YANG SAMA DARI PEMBANGUNAN.
DENGAN DEMIKIAN, TUJUAN AKHIR DARI PENGARUSUTAMAAN GENDER ADALAH MEMPERSEMPIT DAN BAHKAN MENIADAKAN KESENJANGAN GENDER.
DALAM PENGERTIAN DI ATAS DAPAT DISIMPULKAN BAHWA PUG SBG SUATU STRATEGI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER, HARUS DAPAT MEMBUKTIKAN BAHWA ASPEK GENDER HRS BENAR-BENAR TERCERMIN DAN TERPADU DALAM EMPAT FUNGSI UTAMA MANAJEMEN PROGRAM SETIAP INSTANSI, LEMBAGA MAUPUN ORGANISASI, YAITU:
1. PERENCANAAN; MENYUSUN PERNYATAAN ATAU TUJUAN YG JELAS BAGI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI.
2. PELAKSANAAN; MEMASTIKAN BAHWA STRATEGI YANG DIJELASKAN MEMPUNYAI DAMPAK PADA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI.
3. PEMANTAUAN; MENGUKUR KEMAJUAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM DALAM HAL PARTISIPASI DAN MANFAAT BAGI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI.
4. PENILAIAN (EVALUASI); MEMASTIKAN BAHWA STATUS PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI SUDAH MENJADI LEBIH SETARA / SEIMBANG SEBAGAI HASIL PRAKARSA TERSEBUT.
TUJUAN PENGARUSUTAMAAN GENDER
BERDASARKAN PELAKSANAAN INPRES NOMOR 9 TAHUN 2000 TUJUAN PENGARUSUTAMAAN GENDER ADALAH :
1) MEMBENTUK MEKANISME UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM YANG RESPONSIF GENDER.
2) MEMBERIKAN PERHATIAN KHUSUS KPD KELOMPOK-KELOMPOK YANG MENGALAMI MARGINALISASI SEBAGAI DAMPAK DARI BIAS GENDER.
3) MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN KESADARAN SEMUA PIHAK BAIK PEMERINTAH MAUPUN NON PEMERINTAH SEHINGGA MAU MELAKUKAN TINDAKAN YANG SENSITIF GENDER DIBIDANG MASING-MASING.
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) AKAN BERHASIL, JIKA SECARA KONSISTEN DAN BERTANGGUNGJAWAB DILAKSANAKAN OLEH SELURUH KALANGAN MASYARAKAT BAIK YANG TERGABUNG DALAM LEMBAGA PEMERINTAH (DEPARTEMEN DAN NON DEPARTEMEN), ORGANISASI PEREMPUAN, LSM, ORGANISASI PROFESI, ORGANISASI SWASTA, ORGANISASI KEAGAMAAN MAUPUN PADA MASYARAKAT YANG PALING KECIL YAITU KELUARGA.
BAHWA PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MEMERLUKAN KONDISI-KONDISI DASAR YANG MEMUNGKINKANNYA BEKERJA SECARA EFEKTIF. MEMBANGUN KESETARAAN GENDER MEMERLUKAN :
1. KUALITAS PENDIDIKAN / PENGETAHUAN MINIMUM
2. KUALITAS KESEJAHTERAAN MINIMUM
3. KUALITAS KEHIDUPAN BERSAMA MINIMUM
MEMBANGUN KESETARAAN GENDER TIDAK BISA DILAKUKAN DI DAERAH YANG MASIH PRIMITIF, MISKIN, AMAT TERBELAKANG DALAM PENDIDIKAN, ATAU MASYARAKATNYA AMAT PATRIARKI. MEMBANGUN JEMBATAN BISA DIMANA SAJA, KAPAN SAJA. ASAL ADA BAHAN BAKU, INSINYUR, TUKANG, DSB. GENDER ADALAH SESUATU YANG BERBEDA YANG HANYA BISA DILAKUKAN KALAU SUDAH ADA TAHAPAN TERTENTU YANG SUDAH DILAMPAUI.
BAGAIMANA DI INDONESIA? SEBAGIAN ADA YANG BELUM SIAP, MISALNYA KAWASAN TERBELAKANG DI IRIAN JAYA, KALIMANTAN, DAN SUMATERA. LAINNYA, SIAP DAN SETENGAH SIAP.
PENYELENGGARAAN PUG MENCAKUP BAIK PEMENUHAN KEBUTUHAN PRAKTIS GENDER MAUPUN KEBUTUHAN STRATEGIS GENDER.
KEBUTUHAN PRAKTIS GENDER ADALAH KEBUTUHAN2 PEREMPUAN AGAR DAPAT MENJALANKAN PERAN2 SOSIAL YANG DIPERANKAN OLEH MEREKA UNTUK MERESPON KEBUTUHAN JANGKA PENDEK, MISALNYA PERBAIKAN TARAF KEHIDUPAN, PERBAIKAN PELAYANAN KESEHATAN, PENYEDIAAN LAPANGAN KERJA, PENYEDIAAN AIR BERSIH, DAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA.
KEBUTUHAN STRATEGIS GENDER ADALAH KEBUTUHAN2 PEREMPUAN YANG BERKAITAN DENGAN PERUBAHAN SUB-ORDINASI PEREMPUAN TERHADAP LAKI-LAKI, SEPERTI PERUBAHAN DI DALAM PEMBAGIAN PERAN, PEMBAGIAN KERJA, KEKUASAAN DAN KONTROL TERHADAP SUMBER DAYA.
KEBUTUHAN STRATEGIS GENDER INI, MISALNYA PERUBAHAN/ PENYEMPURNAAN HUKUM, PENGHAPUSAN KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DIBERBAGAI BIDANG KEHIDUPAN, DAN PERSAMAAN UPAH UNTUK JENIS PEKERJAAN YANG SAMA.
MENGAPA PUG DIPERLUKAN ?
DENGAN MENYELENGGARAKAN PUG , MAKA DAPAT DIINDENTIFIKASI APAKAH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN :
► MEMPEROLEH AKSES YANG SAMA TERHADAP SUMBER DAYA PEMB;
► MEMILIKI PELUANG BERPARTISIPASI YANG SAMA DALAM PROSES PEMBANGUNAN, TERUTAMA DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN;
► MEMILIKI KONTROL YG SAMA ATAS SUMBERDAYA PEMBANGUNAN;
► MEMPEROLEH MANFAAT YG SAMA DARI HASIL PEMBANGUNAN.
DENGAN DEMIKIAN, MELALUI STRATEGI PUG DAPAT DIKEMBANGKAN KEBIJAKAN, PROGRAM, PROYEKAN PEMBANGUNAN YANG RESPONSIF GENDER SEHINGGA DAPAT MENGURANGI KESENJANGAN GENDER YANG MENGANTAR KEPADA PENCAPAIAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER. SELAIN ITU, STRATEGI PUG DAPAT MENINGKATKAN AKUNTABILITAS PEMERINTAH THDP RAKYATNYA DALAM MEMPERTANGGUNGJAWABKAN HASIL KINERJANYA.
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) AKAN BERHASIL, JIKA SECARA KONSISTEN DAN BERTANGGUNGJAWAB DILAKSANAKAN OLEH SELURUH KALANGAN MASYARAKAT BAIK YANG TERGABUNG DALAM LEMBAGA PEMERINTAH (DEPARTEMEN DAN NON DEPARTEMEN), ORGANISASI PEREMPUAN, LSM, ORGANISASI PROFESI, ORGANISASI SWASTA, ORGANISASI KEAGAMAAN MAUPUN PADA MASYARAKAT YANG PALING KECIL YAITU KELUARGA.
BAHWA PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MEMERLUKAN KONDISI-KONDISI DASAR YANG MEMUNGKINKANNYA BEKERJA SECARA EFEKTIF. MEMBANGUN KESETARAAN GENDER MEMERLUKAN :
1. KUALITAS PENDIDIKAN / PENGETAHUAN MINIMUM
2. KUALITAS KESEJAHTERAAN MINIMUM
3. KUALITAS KEHIDUPAN BERSAMA MINIMUM
MEMBANGUN KESETARAAN GENDER TIDAK BISA DILAKUKAN DI DAERAH YANG MASIH PRIMITIF, MISKIN, AMAT TERBELAKANG DALAM PENDIDIKAN, ATAU MASYARAKATNYA AMAT PATRIARKI. MEMBANGUN JEMBATAN BISA DIMANA SAJA, KAPAN SAJA. ASAL ADA BAHAN BAKU, INSINYUR, TUKANG, DSB. GENDER ADALAH SESUATU YANG BERBEDA YANG HANYA BISA DILAKUKAN KALAU SUDAH ADA TAHAPAN TERTENTU YANG SUDAH DILAMPAUI.
BAHWA PUG HARUS MELEPASKAN DIRI DARI GERAKAN FEMINISME YANG PADA PRINSIPNYA MENGEDEPANKAN WACANA BAHWA SANG PEJUANG HARUSLAH PEREMPUAN. PERJUANGAN GENDER PADA SAAT INI MEMANG UNTUK MENINGKATKAN KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN TERHADAP LAKI-LAKI, TETAPI LAKI-LAKI HARUS DILIBATKAN, KARENA KETIKA KUALITAS KESETARAAN TERSEBUT MENINGKAT, MAKA SANG LELAKI PUN IKUT MEMPEROLEH MANFAAT.
PADA UMUMNYA HAKEKAT PEMBANGUNAN KESETARAAN GENDER YANG PALING POKOK ADALAH DI DALAM SEKTOR-SEKTOR :
1. PENDIDIKAN 5. ADMINSITRASI PUBLIK
2. KESEHATAN
3. EKONOMI
4. POLITIK
KESETARAAN GENDER JIKA SUDAH DIMULAI SEJAK TAHUN 1996 (PASCA PERTEMUAN PEREMPUAN SEDUNIA DI BEIJING TAHUN 1995), MAKA KEBERHASILANNYA MEMERLUKAN WAKTU 15 – 20 TAHUN KE DEPAN. OLEH KARENA, KONSTRUKSI YANG DIUBAH ADALAH KONSTRUKSI SOSIAL. PERUBAHAN NILAI-NILAI SOSIAL JIKA MEMERLUKAN WAKTU SATU GENERASI, ADALAH SEBUAH KEBERHASILAN BESAR. SEPERTI KB DI INDONESIA YANG MEMERLUKAN WAKTU 20 TAHUN (1970 – 1990).
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) BUKANLAH HAK EKSLUSIF DARI LEMBAGA-LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT, MELAINKAN HARUS DISELENGGARAKAN DALAM BENTUK SEBUAH ALIANSI ANTARA NEGARA/PEMERINTAH DENGAN MASYARAKAT. DISINILAH KONSEP CIVIL SOCIETY YANG UTUH DIBENTUK, DIMANA PEMERINTAH BERSAMA DENGAN MASYARAKAT BEKERJA BERSAMA UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK DARI HARI KEMARIN.
PRINSIP PENGARUSUTAMAAN GENDER
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM MENSOSIALISASIKAN PUG DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA MENGENAL PRINSIP YANG MENGACU KEPADA TEORI-TEORI GENDER, YAKNI SEBAGAI BERIKUT:
1. MENGHARGAI KERAGAMAN PLURALITIS
YAITU MENERIMA KERAGAMAN ETNIS BUDAYA, AGAMA DAN ADAT ISTIADAT (PLURALISTIS), KARENA BANGSA INDONESIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI TERDIRI DARI BERBAGAI SUKU BANGSA, AGAMA DAN ADAT ISTIADAT YANG MERUPAKAN KEKAYAAN POTENSIAL DAN KERAGAMAN YANG PERLU DIPERTAHANKAN DI DALAM PUG TANPA HARUS MEMPERTENTANGKAN KERAGAMAN TERSEBUT.
2. BUKAN PENDEKATAN DIKOTOMIS
YAITU PENDEKATAN DALAM RANGKA PUG TIDAK MELALUI PENDEKATAN DIKOTOMIS YANG SELALU MEMPERTIMBANGKAN ANTARA KEPENTINGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN.
3. MELALUI PROSES PEMAMPUAN SOSIALISASI DAN ADVOKASI
PRINSIP YANG PENTING DALAM PUG DI INDONESIA ADALAH MELALUI PERJUANGAN DAN PENERAPAN SECARA BERTAHAP MELALUI PROSES SOSIALISASI DAN ADVOKASI.
PELAKSANAAN PUG TIDAK SEMUDAH MEMBALIKKAN TELAPAK TANGAN, TETAPI PELAKSANAANNYA HARUS DENGAN PENUH PERTIMBANGAN MELALUI PROSES SOSIALISASI DAN ADVOKASI YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KEPENTINGAN MASYARAKAT.
4. MENJUNJUNG NILAI HAM DAN DEMOKRASI
PENDEKATAN PUG DI INDONESIA TIDAK MELALUI PERTENTANGAN- PERTENTANGAN DAN PENEKANAN-PENEKANAN, SEHINGGA ADA KELOMPOK-KELOMPOK YG MERASA DIRUGIKAN. PENERAPAN PUG SELALU MENJUNJUNG NILAI-NILAI HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI, SEHINGGA AKAN DITERIMA OLEH SEMUA LAPISAN MASYARAKAT SECARA SADAR.
Komentar
Posting Komentar